Kamis, 01 September 2011

Teori Sistem Pembuktian

Teori sistem pembuktian, dikenal secara teoritis beberapa macam metode yang akan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.      Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction-in Time)
               Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian "keyakinan" hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan.
               Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas "dasar keyakinan" belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b.      Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction Raisonee)
               Dalam sistem ini pun dapat dikatakan "keyakinan hakim" tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, berbeda dengan sistem pembuktian conviction-in time dimana peran "keyakinan hakim" adalah leluasa tanpa batas maka pada sistem convection-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan "alasan-alasan yang jelas". Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus "reasonable", yakni berdasar alasan yang dapat diterima.


        c.     Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk  Bewijstheorie)
Pembuktian ini merupakan kontroversi dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Dalam pembuktian ini hakim tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada pembuktian menurut undang-undang. Untuk membuktikan salah tidaknya seorang terdakwa maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah itulah yang terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain bahwa tanpa alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap kesalahan terdakwa. Sebaliknya ialah jika bukti-bukti yang sah berdasarkan undang-undang telah dipenuhi maka hakim dapat menentukan kesalahan terdakwa.




d.      Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk   Stelsel)
               Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time.[1]
               Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negatif "menggabungkan" ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Bertitik-tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
1.      Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
2.      Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Asas Negatief Wettelijk Stelsel ini diatur juga dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


[1] M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua,( Jakarta : Sinar Grafika, 1985), hlm. 256.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar