Selasa, 18 Oktober 2011

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM PERDATA BARAT DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA


I.             Latar Belakang Masalah
Banyaknya kasus perceraian ataupun kasus-kasus lain yang berhubungan dengan hukum keluarga muslim di Indonesia cukup membuat sibuk aparat hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menjalankan fungsi Peradilan, sehingga kadang-kadang jumlah perkara yang masuk di Peradilan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang menangani perkara itu guna memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak pencari keadilan.
Selain itu jenis perkara yang banyak dan diajukan oleh para pihak pencari keadilan didominasi oleh kaum perempuan yang seharusnya merasa terlindungi dengan adanya perjanjian yang berupa ta’lik talak yang diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan, namun kenyataannya justru pelanggaran ta’lik talak membawa kaum perempuan mengajukan tuntutan ke Pengadilan Agama di wilayah hukum masing-masing Pengadilan di Indonesia. Namun ada wilayah hukum tertentu yang jumlah perkaranya sedikit yang oleh karena mempunyai komunitas tertentu dengan hukum kebiasaan atau tradisi budayanya dibidang perkawinan yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan sebelum dilaksanakan akad nikah menurut UU NO. 1 TAHUN 1974  ternyata dapat mempertahankan perkawinan mereka hingga salah satu dari pasangannya meninggal dunia.
Masyarakat hukum itu dinamakan masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh Nusantara dengan agama, bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam sehingga ada beberapa asas yang membedakan corak / warna budaya Indonesia    terakumulasi dalam hukum Adat secara material, yaitu :
1.      Mempunyai sifat kebersamaan / komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan itu mencakup lapangan hukum adat.
2.      Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3.      Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran yang serba kongkrit, artinya memperhatikan banyaknya peristiwa / kejadian dan berulang-ulangnya perhubungan antara manusia.
4.      Hukum adat bersifat visioner, artinya perhubungan-perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan adanya suatu ikatan yang  dapat dilihat.[1]
Dengan demikian apabila boleh berasumsi bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan suatu perjanjian perkawinan yang bukan merupakan perjanjian ta’lik talak seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih dapat menekan lajunya angka perceraian di suatu wilayah hukum Peradilan, karena perjanjian perkawinan yang dilaksanakan cenderung memakai asas / hukum     Perdata Barat.

II.          Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang Penulis uraikan di muka, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1.     Bagaimanakah sebenarnya sistemhukum menurut Hukum Perdata Barat dan UU No. 1 Tahun 1974  ?
2.      Bagaimanakah perbedaan dan persamaan asas hukum perjanjian perkawinan menurut Hukum Perdata Barat dengan UU No. 1 Tahun 1974  ?



III.       Tinjauan Pustaka
Dalam ruang ini Penulis mencoba menyoroti hal-hal yang berkaitan      dengan :
A.    Pengertian Sistem Hukum menurut Hukum Perdata Barat dan UU No. 1 Tahun 1974
Apabila berbicara tentang sistem hukum maka yang dimaksud terlebih dahulu adalah arti dari istilah sistem itu sendiri yaitu menurut Satjipto Rahardja dalam bukunya Ilmu Hukum : Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan dan bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan.[2]


Dan secara garis besar makna sistem dapat digambarkan menurut Shrode dan Voich sebagai berikut :
The term “system” has two important connotations which are implicit, if not explicit, in almost any discussion of systems. The first is the nation of system as an entity or thing which has a particular order or structural arrangement of its parts. The second is the nation of system as a plan, method, divice or procedure for accomplishing something. As we shall see, these two nations are not markedly different, since order or structure is fundamental to each.[3]
Jadi, istilah sistem mengacu pada 2 hal yaitu pertama, berupa sesuatu wujud (entitas) atau benda yang mempunyai tata aturan atau susunan struktural dari bagian-bagiannya, seperti lembaga pemerintahan, alam semesta, manusia dan kedua menunjuk pada suatu rencana, metode, alat atau tata cara untuk mencapai sesuatu, seperti sistem kontrol, sistem transportasi. Bahwa kedua pengertian ataupun penggunaan tersebut tidaklah mempunyai perbedaan berarti, karena keteraturan, ketertiban atau adanya struktur itu merupakan hal yang mendasar bagi keduanya. (terjemahan bebas).
Setelah diketahui makna sistem maka kata tersebut dirangkaikan menjadi sistem hukum sehingga mengandung pengertian : Suatu kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, tersusun sedemikian rupa menurut asas-asasnya yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.[4]
Namun hukum barulah dapat dikatakan sebagai sistem, menurut Filler, jika memenuhi 8 asas yang dinamakannya “principles of legality”, yaitu :
a.       Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan tidak boleh mengandung sekedar keputusan ad hoc.
b.      Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
c.       Peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut.
d.      Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.
e.       Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
f.       Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
g.      Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan,sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi.
h.      Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.[5]
Di Indonesia, terdapat 3 sistem hukum yang eksis (living law) yaitu :
a.       Sistem hukum adat
b.      Sistem hukum Islam
c.       Sistem hukum Barat (Belanda)[6]
Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya, senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Yang berperan melaksanakan sistem hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang disegani dan berpengaruh dalam lingkungan masyarakat adat demi memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Sistem hukum Islam dibedakan atas 2 macam yaitu syariat dan fiqh. Syariat bersumber Al Qur’an dan Hadist tanpa adanya penafsiran lagi sedangkan fiqh bersumber pada pendapat / pemikiran ulama (Ijma) dan Qiyas (analogi).
Sistem hukum Barat (Belanda) diwujudkan dalam bentuk Undang-undang yang disusun secara sistematis dan lengkap dalam bentuk kodifikasi untuk adanya kepastian hukum. Karena pengaruh jajahan Belanda di Indonesia maka kitab Undang-undang Hukum Perdata di negeri Belanda berdasarkan asas konkordansi ditiru dalam membuatnya, maka untuk lebih jelasnya disini akan ditinjau lebih dahulu berdasarkan awal sejarah pembentukannya yang hingga sekarang ini masih eksis dipergunakan di Indonesia.
Sementara peraturan-peraturan hukum di suatu negara dapat dikatakan sebagai satu sistem hukum, seperti halnya sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat beranekaragam bidang hukum yang masing-masing mempunyai sistemnya sendiri-sendiri sehingga timbulnya istilah sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara dan sebagainya. Lalu dalam sistem perdata (Barat) misalnya terdapat lagi sistem hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan dan sistem hukum pembuktian.
Dengan demikian dalam suatu negara mengenal hirarki atau tingkatan sistem hukum. Semua peraturan hukum positif di Indonesia merupakan sistem hukum sekaligus juga merupakan sub-sub sistem hukum Nasional.
Sistem hukum adalah sistem abstrak (konseptual) sebab terdiri atas unsur-unsur yang tidak kongkrit yang tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat. Unsur-unsur dalam sistem hukum memiliki hubungan khusus dengan unsur-unsur lingkungannya. Lain dari itu dikatakan juga bahwa sistem hukum adalah sistem yang terbuka karena peraturan-peraturan hukum beserta istilah-istilahnya yang bersifat umum terbuka untuk ruang interprestasi yang berbeda dan untuk interprestasi yang lebih luas. Sistem hukum bersifat konsisten (tetap) dan bulat, artinya utuh dalam kesatuannya, tidak boleh bercerai-berai, antara teori dan prakteknya harus ada kecocokan dan kalaupun terjadi bias atau penyimpangan karena adanya berbagai kepentingan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk maka akan berlaku secara konsisten asas-asas hukum seperti :
1.      Lex specialis derogat legi generali
2.      Lex posteriori derogat legi priori
3.      Lex superior derogat legi inferiori[7]
Sistem hukum perdata Barat (BW) yang berlaku di Indonesia masih dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontimental yang berkembang di negara-negara Eropa Barat, awal sekali di Prancis, lalu diikuti oleh negara-negara Eropa Barat lainnya seperti Belanda, Jerman, Belgia, Swiss, Italia, Amerika Latin dan termasuklah negara Indonesia pada masa penjajahan pemerintahan Hindia Belanda dahulu.
Prinsip yang ditekankan pada dasar sistem hukum Eropa Kontimental ini adalah Hakim sebagai corongnya Undang-undang karena hukum sudah tersedia dan ada dalam bentuk Undang-undang yang lengkap dan tersusun secara sistematis (kodifikasi). Hakim menurut sistem ini tidak akan dapat secara leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, tetapi   putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat kepada para pihak yang bersengketa saja.
Pengertian Hukum Perdata Barat sebenarnya tidak lepas dari konteks sejarah karena setelah merdeka bangsa Indonesia masih belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tapi masih memakai peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda, namun atas dasar nasionalisme peraturan tersebut mengalami perubahan nama menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata dari asalnya Burgerlijk Wetboek (BW) sedangkan kata Barat mengacu pada pengaruh sistem hukum Eropa Barat / kontinental yang masih sangat kental melekat terhadap materi kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut.
Berbeda dengan sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia berdasarkan teori reception in complexu[8] maupun teori reception[9] yang keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang tampaknya tidak bisa dipisahkan karena sudah sejak sebelum tahun 1800 dan tahun-tahun sesudahnya telah diakui bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam sebab penduduk telah menganut agama Islam walaupun terdapat sedikit bias terhadap pelaksanaannya karena adanya pengaruh dari teori reception yang mengatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum adat asli. Kedua teori tersebut tidak terlalu perlu untuk dipertentangkan, namun perlu diambil jalan tengah oleh para ahli hukum yang berkompeten dibidangnya sehingga tersusunlah suatu kitab undang-undang hukum perdata (BW) untuk daerah jajahan Hindia Belanda sehingga masih berlaku di Indonesia hingga kini sesuai aturan peralihan yang terdapat dalam UUD 1945.

B.     Perjanjian Perkawinan menurut Hukum Perdata Barat / BW dan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII  KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan.
Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
  1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
  2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
  3. Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
  4. Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.
Sedangkan  pada Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya terdiri atas satu pasal saja tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 29 menyatakan :
“Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.





IV.       Pembahasan dan Analisis
Setelah mengetahui dasar yuridis yang terdapat dalam hukum Perdata Barat (BW) dan UU No. 1 Tahun 1974  tentang Perjanjian Perkawinan, maka sekarang tibalah pada pembahasan dan analisis sebagai berikut :
A.    Kedudukan Sistem Hukum Perdata Barat dan Sistem Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Bahwa untuk melihat Sistem Hukum Perdata Barat dan Sistem Hukum Perdata Islam dalam suatu perbandingan, maka dapat diketahui berdasarkan sejarah  pembentukannya dari masa ke masa sehingga kini dapat dipakai dan tetap eksis oleh sebagian penduduk Indonesia berdasarkan penundukan diri mereka terhadap sistem hukum barat tersebut, disamping sejarah pembentukan hukum Islam yang memenuhi kepentingan umat Islam di Indonesia seperti halnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan akumulasi sistem hukum Islam yang materinya sudah tersusun baik dan sudah dianggap dapat memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia.
Bagi mereka yang telah menundukkan diri terhadap Hukum Barat tentu juga mempunyai alasan tersendiri secara pribadi terlepas dari penundukan diri mereka  secara diam-diam, secara sebagian maupun secara keseluruhannya, namun yang jelas  berdasarkan kajian buku yang ditulis oleh Soetandyo Wignjosoebroto dipaparkan bahwa pengaruh perkembangan pendidikan hukum atau kehakiman pada masa kolonial itu dibagi dalam  3 suasana sosio politik yang dialami oleh pelajar Indonesia pada waktu itu yakni sebagai berikut : 
1.      Suasana pendidikan Rechtsschool di awal dasawarsa 1910-an, dimana ketika itu anak-anak pelajar pribumi tidak mempunyai cita-cita apapun selain untuk menjadi anak asuh yang baik dibawah perwalian pejabat-pejabat Belanda yang paternalistik, dan kelak bisa bekerja sebagai Rechtsambtenaren yang profesional.
2.      Suasana yang dialami para mahasiswa hukum ketika menempuh pendidikannya di Universitas Leiden sekitar tahun 1920-an, yakni semasa mereka-sebagaimana dan bersama-sama mahasiswa pribumi yang menempuh bidang-bidang kajian lain mulai sadar pada pemikiran ideologi politik dan kenegaraan modern dan karena itu pula lebih menyadari eksistensi mereka sebagai warga bangsa yang memiliki kebudayaan yang unggul dan sejarah politik yang sangat bermakna.
3.      Suasana yang dialami dalam lingkungan Rechtshoogeschool selepas tahun 1925-an, yakni semasa selapisan kaum terpelajar elit pribumi yang telah mulai marak dengan ide-ide nasionalisme dan melahirkan pikiran-pikiran yang serba kritis yang cenderung menolak kendali-kendali perwalian paternalistik yang pada waktu itu tak hanya terpandang kolonial akan tetapi juga kolot.[10]
Rechtsschool sebagaimana diharapkan semula didirikan untuk menyiapkan tenaga-tenaga kehakiman landraad yang berkecerdasan tinggi untuk memahami hukum yang berkembang atau hukum yang hidup (living law) menurut konsep-konsep dan prosedur yang ditradisikan dalam budaya Eropa, yang berintegritas tinggi untuk dapat menerapkannya secara jujur dan adil, tetapi sekalipun demikian tetap juga masih berkemampuan dan berkepekaan untuk mengenali dengan penuh penghayatan alam budaya simbolik bangsanya sendiri yaitu bangsa pribumi. Namun kenyataannya tuntutan untuk lebih mengenali formalitas-formalitas dan sistem nilai yang dijunjung tinggi dalam peradilan model Eropa sangat nyata atau tampak lebih dominan dari waktu ke waktu, sedangkan substansi-substansi normatif pribuminya agak dikesampingkan sehingga dalam perkembangannya Rechtsschool tidak lagi setaraf sekolah dengan tingkat yang sederhana untuk penyelenggaraan peradilan bagi orang pribumi melainkan terkesan pada taraf yang kian tinggi, apalagi dengan dibukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden, tidak hanya ke pendidikan khusus yang sengaja distrukturkan untuk kepentingan kolonial pada saat itu sehingga mendorong mahasiswa pribumi mengetahui dunia kehidupan hukum eropa dan peradilan-peradilan lain yang tak terbatas hanya setaraf peradilan landraad yang untuk orang pribumi itu.
Kenyataan ini sangat jelas menunjukkan bahwa gerak perkembangan intelektual anak-anak pribumi menuju kepada dunia pemikiran barat semakin bertambah untuk menghasilkan yuris-yuris akademisi yang dapat diharapkan berfungsi di dalam sistem hukum kolonial. Akan tetapi yuris-yuris muda pribumi  lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai orang-orang yang netral dari kepentingan sebuah kekuasaan kolonial. Namun oleh sebab pecahnya perang Pasifik sekolah tinggi hukum ini ditutup tetapi wawasan falsafah pendidikannya yang liberal sedikit banyak berpengaruh memaksa dualisme hukum di Indonesia tetap bertahan dan dipertahankan hingga sekarang ini.
Sekarang tibalah pada pembahasan pembentukan sistem hukum Islam di Indonesia yang tentu saja tidak lepas dari pengertian syariat dan fiqh yang dikembangkan berdasarkan pendapat ulama yang terkenal dengan 4 madzhab yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Bahwa ulama madzhab sepakat tentang pengertian Syariat, yakni nama umum yang diberikan kepada peraturan-peraturan dalam agama Islam dan oleh ahli-ahli dirumuskan sebagai sesuatu yang tidak akan diketahui seandainya tidak ada wahyu Ilahi.[11] Definisi dari syariah ini cukup luas dan termasuk ke dalamnya wahyu-wahyu Ilahi yang diturunkan pada nabi-nabi bangsa Ibrani dan Nabi Isa dengan ketentuan, bahwa wahyu-wahyu mereka itu hanya berlaku selama dikuatkan atau dibenarkan lagi oleh wahyu-wahyu yang disampaikan pada Nabi Muhammad. Karena itu yang terakhir ini menjadi syari’ah yang terutama. Kesimpulan kedua dari definisi tersebut adalah bahwa hanya apa yang dengan jelas dicantumkan dalam wahyu Ilahi atau yang boleh dimasukkan ke dalamnya secara analogi, yang sebetulnya termasuk syari’ah. Hal-hal yang ditentukan oleh perkembangan kecerdasan terletak diluar syari’ah, karena hal itu ditetapkan     dengan akal.
Oleh karena ketentuan-ketentuan yang ada dalam syari’ah dalam memakai analogi hukum itu berguna sebagai bukti-bukti dalam menetapkan hukum syari’ah, maka para ahli menamainya bukti-bukti syari’ah. Tentang sumber-sumber dari mana di dapat bukti-bukti tersebut, maka ahli-ahli menentukan 4 macam bukti syari’ah itu yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Hukum syari’ah atau hukum syar’i diartikan sebagai ketentuan yang ditetapkan sebagai hasil dari wahyu Ilahi, misalnya, perbuatan berdusta yang dilakukan oleh seseorang, yang dilarang menurut syari’ah, itulah yang menjadi hukum syari’ahnya.
Ilmu yang memancarkan hukum syari’ah itu dari pada bukti-bukti syariah adalah “ilmu fiqh” atau fiqh dan orang yang ahli dalam ilmu ini adalah faqih. Fiqh itu diartikan juga secara khusus sebagai deduksi dari hukum syari’ah mengenai amal atau perbuatan, masing-masing dari sudut pandang bukti-bukti khusus. Dengan memakai istilah syari’ah dimaksudkan untuk meninggalkan nilai-nilai akal dan pancaindra seperti beriman kepada Allah dan Nabi-Nabi. Kata amal memisahkan teori yang misalnya mengatakan, bahwa  Ijma itu adalah suatu bukti yang sah untuk menetapkan hukum syari’ah. Dalam kesimpulan itu tidak termasuk pengetahuan yang di dapat dari seorang Mujtahid dan sebagai gantinya adalah penyelidikan langsung terhadap bukti-bukti. Maka menurut ini seseorang tidak dinamai Faqih, apabila  dia hanya mengetahui hukum syari’ah. Dia hanya dinamai Faqih apabila   dia sendiri dengan penyelidikan dan pemikiran langsung (olehnya sendiri) menyimpulkan hukum-hukum itu. Demikian definisi menurut ahli-ahli Syafi’i, sedangkan menurut Hanafi adalah pengetahuan tentang hukum syari’ah itu saja adalah fiqh dan orang yang  mempunyai  pengetahuan ini adalah faqih. Dengan kata l.ain, seorang faqih itu  tidak semestinya seorang mujtahid. Akhirnya istilah khusus itu menunjukkan bahwa lapangan fiqh itu tidak langsung diperdapat dari keempat bukti-bukti syari’ah yaitu Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Bukti-bukti ini sebagaimana adanya, adalah terlalu umum (Ijmali) dan tidak sesuai dengan maksud fiiqh sebelumnya disimpul;kan lagi oleh suatu ilmu khusus kepada dalil-dalil yang masuk akal, masing-masing mengenai satu kumpulan hukum yang khusus.
Pengetahuan yang khusus ini, yang mempersiapkan fiqh itu dinamai  penghetahuan tentang ushul fiqh atau menurut apa yang tertulis dinamai ilmu tentang dasar-dasar fiqh. Dinamai begitu, karena keempat bukti syari’ah yang tersebut di atas itu yang merupakan hal yang dibicarakan, menurut analisa terakhir, adalah keempat dasar pada mana disandarkan kesimpulan-kesimpulan fiqh. Ilmu ushul fiqh itu dirumuskan oleh ahli-ahli sebagai pengetahuan tentang dasar-dasar untuk mendapatkan fiqh itu menurut aturan yang sewajarnya atau sebenarnya. Ushul fiqh itu hanya membahas dasar-dasar yang segera diperlukan untuk mendapatkan fiqh itu dengan kata lain, ia tidaklah mengenai hal-hal yang kurang langsung seperti bahasa, ilmu nahwu atau kalam, walaupun hal-hal ini perlu juga. Sebaliknya pernyataan menurut aturan yang sewajarnya itu dimaksudkan untuk memisahkan hal-hal yang berlawanan.
Fungsi ushul fiqh adalah untuk mempersiapkan pendirian-pendirian yang digunakan dalam fiqh untuk menetapkan hukum syari’ah pada kejadian atau peristiwa yang khusus. Jadi ushul fiqh itu menyelenggarakan keterangan umum (qawaid kulliyah) bagi fiqh sebagai pendirian-pendirian yang digunakan oleh fiqh dalam mendapatkan hukum yang berguna untuk kejadian atau peristiwa yang khusus. Dengan singkat dikatakan bahwa ushul fiqh itu membahas bukti-bukti syari’ah yakni dasar-dasar fiqh sepanjang yang boleh dipergunakan sebagai bukti-bukti untuk menetapkan hukum syari’ah dan hukum syari’ah itu sepanjang yang disimpulkan dari bukti-bukti syari’ah, namun tidak membahas apa yang dinamai hukum syari’ah itu dalam peristiwa atau kejadian yang khusus, yaitu fungsi dari fiqh. Bagian-bagian yang menjadi ushul fiqh dan fiqh itu maupun kedudukan dari keduanya ini dalam lapangan ilmu pengetahuan secara umum menurut madzhab Hanafi adalah :
1.      Akal (aqliyah) yang diperoleh melalui atau menggunakan akal pikiran dan pancaindra.
2.      Naluri (naqliyah) yang diperoleh melalui kebiasaan yang turun temurun, yang terbagi lagi menjadi 2 macam ilmu yaitu : ilmu kesusasteraan dan ilmu syari’ah. Sedangkan ilmu syari’ah itu terbagi lagi atas 2 hal yakni :
a.       Asal  (asliyah), termasuk :
-          Pembacaan al-Qur’an,
-          Penafsiran atau interpretasi al-Qur’an,
-          Hadist atau kebiasaan Nabi (sunnah).
b.      Yang disimpulkan (mustanbatah) , termasuk :
-          Itiqad, ilmu tentang ke-Esaan dan sifat-sifat Allah (kalam atau ushuludin).
-          Yang praktis (amaliyah) atau ilmu fiqh, yang terdiri atas ilmu tentang dasar-dasar fiqh (ushul fiqh) dan ilmu pemakaian fiqh (furu’al fiqh atau fiqh).
Akhirnya fiqh itu dapat dimaknai secara luas yang meliputi :
1.      Perbuatan-perbuatan seseorang yang kesemuanya termasuk hak-hak Allah, seperti shalat, puasa, zakat, berhaji ke Mekah, berjuang di jalan Allah dalam konteks melawan kebatilan, dan hubungan negara dengan kafir dzimmi.
2.      Perbuatan-perbuatan seseorang yang kesemuanya termasuk hak-hak perseorangan, terbagi  lagi atas :
a.       Perbuatan dari yang hidup :
-          Perkawinan dan perceraian (munakahat).
-          Hukum sipil atau perdagangan (mu’amalat).
-          Pelanggaran-pelanggaran (uqubat)
b.      Perbuatan dari yang wafat/mati, yakni mengenai pusaka dan harta peninggalan (faraid).
3.      Perbuatan-perbuatan seseorang dalam bentuk campuran dari hak-hak Allah dan hak-hak perseorangan, disinilah dimungkinkan adanya ijtihad hukum dari seorang mujtahid  dan masuknya pendapat para ulama berdasarkan istimbath hukum yang digunakan terhadap peristiwa/kejadian hukum yang terdapat dalam masyarakat yang belum jelas hukumnya dari Al-Qur’an dan As-sunnah/Hadits.
Dengan demikian jika ingin diambil persamaannya maka antara Hukum Perdata Barat dan UU No. 1 Tahun 1974  itu sama-sama mempunyai kontribusi yang sama terhadap Hukum Nasional Indonesia. Demikian pula antara Hukum Islam dengan Hukum Adat mempunyai titik pertalian yang sama tergantung dari sudut mana pandangan diarahkan dengan memperhitungkan kecenderungan pengaruh yang lebih besar dari Hukum Eropa Barat (BW) ataukah UU No. 1 Tahun 1974  murni (syariat).


B.     Asas Hukum Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Perdata Barat (BW) dan UU No. 1 Tahun 1974
Setelah diketahui kedudukan Hukum Perdata Barat (BW) dan UU No. 1 Tahun 1974  di Indonesia maka tibalah pada pembahasan yang lebih fokus yaitu berkaitan dengan perikatan Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam BW maupun hukum perdata Islam.
Dalam Hukum Perdata Barat atau kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) sudah ada pasal-pasal yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan secara khusus, namun ada kalanya perlu penafsiran secara umum terhadap peristiwa dan hubungan hukum yang baru apabila pada ketentuan yang khusus belum ditemukan peraturannya sehingga diperlukan asas hukum yang berlaku umum, seperti halnya dengan perjanjian perkawinan ini maka akan mengacu pada buku ketiga tentang perikatan yaitu pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian dengan memenuhi 4 unsur :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu hal tertentu.
4.      Suatu sebab yang halal.
Unsur kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak (no.1 dan 2) di atas merupakan syarat subjektif, sedangkan unsur suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (no.3 dan 4) merupakan syarat objektif.
Kemudian untuk isi suatu perjanjian ada asas kebebasan berkontrak yang bisa dipakai untuk memperjanjikan apa saja dan tentang apa saja perbuatan hukum yang perlu bagi suami isteri ketika perkawinan berlangsung.
Selanjutnya untuk pelaksanaan perjanjian perkawinan setelah terjadinya suatu perkawinan antara suami isteri tersebut maka tergantung pada itikad baik kedua belah pihak terhadap apa isi dari hal-hal yang diperjanjikan tersebut.
Perjanjian perkawinan ini lebih sempit dari pada perjanjian secara umum karena bersumber pada persetujuan saja dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, tidak termasuk pada perikatan / perjanjian yang bersumber pada Undang-undang.
Sungguh pun tidak ada definisi yang jelas tentang perjanjian perkawinan ini namun dapat diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang harta kekayaan antara kedua belah pihak, yang mana dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan dipihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.[12]
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan perkawinan berarti pula melanggar perjanjian maka merupakan hal yang sangat jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum yang akan ditanggung / resiko bila salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, biasanya ada sanksi yang harus diberlakukan terhadap pihak yang melanggar perjanjian perkawinan tersebut.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 mengutip pendapat Gatot Supramono : Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.[13]
Persamaannya antara hukum BW dan UU No. 1 Tahun 1974  adalah dilakukan secara tertulis, sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan perjanjian perkawinan tersebut, kalau menurut BW harus dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974  cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian berlaku mengikat terhadap pihak ketiga jika sudah didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat dimana perkawinan dilangsungkan, demikian menurut BW, sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974  berlaku mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang termuat dalam klausula / diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut.






V.    Kesimpulan dan Saran-saran
A.    Kesimpulan
  1. Sistem Hukum Perdata Barat adalah apa yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dengan nama Burgerlijk Wetboek (BW) sebelum dinasionalisasikan, dan sistem hukum Islam adalah apa yang termuat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  2. Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Perdata Barat (KUH Perdata) dengan UU No. 1 Tahun 1974  mempunyai persamaan yaitu dilakukan secara tertulis, sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan dan kekuatan mengikatnya terhadap pihak ketiga.

B.     Saran-saran
  1. Perlu diadakan penelitian / pengkajian lebih lanjut tentang kekuatan mengikat Sistem Hukum Perdata Barat (BW) dengan Sistem Hukum Islam di Indonesia.
  2. Perlu diadakan penelitian / pengkajian lebih lanjut tentang institusi Perjanjian Perkawinan berkaitan dengan tingkat perceraian di suatu Yuridiksi Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA
I.       Peraturan / Undang-undang :
-          Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-          Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320.

II.    Buku-buku
Iskandar, J. Eddy. Tt. Pengantar Ilmu Hukum. Banjarmasin : Universitas Lambung Mangkurat.
        
P. Aghnides, Nicolas. (trans). 1956. Pengantar Ilmu Hukum Islam. Solo : Sitti Sjamsijah.

Prodjohamidjodjo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Indonesia Legal Center Publising.

Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Cet. III. Jakarta : Citra Aditya Bakti
        
Shrode, William. Et.al. 1974. Organization and Management : Basic Systems Concepsts. Malaysia : Irwin Book Co.

Supomo, R. 1965. Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta : Pradnjaparamita.
        
Supramono, Gatot. 1998. Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Jakarta : Djambatan.
        
Syaukani, Imam. Et.al. 2003. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : Citra Aditya Bakti.
        
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.


III. Kamus
Simorangkir, J.C.T. Et.al. 1980. Kamus Hukum. Jakarta : Aksara Baru.
 


[1]  R. Supomo. 1965. Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta : Pradnjaparamita. Hal : 107.
[2]  Satjipto Rahardja. 1991. Ilmu Hukum Cet.III. Jakarta : Citra Aditya Bhakti. Hal : 48.
[3] William A. Shrode - Dan Voich, Jr. 1974. Organitation and Management : Basic systems consepts. Malaysia : Irwin Book Co. Hal : 121.
[4] J. Eddy Iskandar. Tahun. Pengantar Ilmu Hukum (Badan Hukum). Banjarnasin : Unlam. Hal : 10.
[5]  Ibid. Hal : 11
[6] Imam Syaukani. et.al. 2003. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : Citra Aditya Bakti.  Hal : 66
[7]  J.C.T. Simorangkin, Et.al. 1980. Kamus Hukum. Jakarta : Aksara Baru. Hal : 95
[8] Pencetusnya Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845 – 1927). Ahli Hukum Islam dari Belanda .
[9] Pencetusnya Christian Snouck Horgrnje (1857 – 1936). Penasehat Pem. Hindia Belanda tentang soal Islam.
[10] Soetandyo Wignjosoebroto. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta :  PT. Raja Grafindo Persada. Hal : 144.
[11] Nicolas P. Aghnides. 1956. Pengantar Ilmu Hukum Islam (trans). Solo : Sitti Syamsiyah. Hal : 11-12.
[12] Martiman Prodjohamidjodjo. 2002. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Indonesia Legal Center Publising. Hal : 29.
[13] Gatot Supramono. 1998. Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Jakarta : Djambatan. Hal : 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar