Kamis, 03 Maret 2011

EFEKTIVITAS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN [SH01]

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan Negara Hukum, di mana tindakan pemerintah dan lembaga-lembaga di dalamnya termasuk warga masyarakat harus berdasarkan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, agar tercapai keadilan, maka masalah pemidanaan di Indonesia merupakan suatu masalah yang patut disoroti karena menyangkut hak asasi, harkat dan martabat manusia.

“Kejahatan sangat berkaitan dengan pemidanaan sebab mereka yang telah melakukan kejahatan seharusnya diajukan kepada pengadilan dan dijatuhi pidana yang setimpal. Mereka (terpidana) kemudian hidup di belakang tembok penjara yang sama sekali asing baginya”(Rahayu, 1983:10). Mereka bercampur dan bergaul dengan penjahat dan berbagai bentuk manusia yang bertabiat/kebiasaan yang berbeda, begitu pula bahasa dan asal usul yang beraneka ragam.

Pidana bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan bagi yang dikenainya. Pertanyaan yang cukup relevan adalah apakah dasar, tujuan serta hakekat dari pidana dan pemidanaan sudah sesuai dengan kondisi sekarang. Jenis pidana di Indonesia sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 KUHP terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda, sedangkan untuk pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan adalah pidana hilang kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana penjara dilaksanakan di belakang tembok tebal yang sama sekali asing untuk mereka yang menjalaninya. Di belakang tembok tebal tersebut atau sering disebut penjara. narapidana akan dibina dan dididik agar mereka menjadi lebih baik dan berguna sebagai warga negara.
Pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1872–1945):
1. Periode Kerja Paksa di Indonesia (1872–1905);
2. Pelaksanaan Pidana di Indonesia menjelang berlakunya “Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie” (KUHP) 1918; (Periode “Penjara-penjara Sentral Wilayah”; 1905–1921);
3. Pelaksanaan Pidana di Indonesia setelah berlakunya “Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie” (KUHP) 1918; (Periode Kepenjaraan Hindia Belanda; 1921–1942);
4. Pelaksanaan Pidana di Indonesia dalam periode pendudukan bala-tentara Jepang (1942–1945).
Usaha-usaha perbaikan dan penambahan terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem kepenjaraan terus dilakukan, sehingga akhirnya sampailah pada usaha untuk menggantikan sistem kepenjaraan ke sistem perlakuan lain yang dapat dirasakan keberhasilannya jika Sistem yang diterapkan adalah sistem pemasyarakatan. Di dalam pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan, karena dalam sistem pemasyarakatan, narapidana dan anak didik hanya dibatasi kemerdekaan bergeraknya saja sedangkan hak-hak kemanusiaannya tetap dihargai. Zaman Pemasyarakatan dimulai dari 1963–1981 terdiri dari:
1. Periode Pemasyarakatan ke I (1963–1966) Lahirnya Sistem Pemasyarakatan);
2. Periode Pemasyarakatan ke II (1966–1975) (Periode Bina Tuna Warga);
3. Periode Pemasyarakatan ke III (1975-1981) (Kembali ke Pemasyarakatan).

Ilmu mengenai pidana atau yang disebut penologi dalam istilah hukum pidana memegang peranan penting dalam sistem peradilan pidana. Penologi atau yang mempunyai arti ilmu pengetahuan tentang hukuman tidak dapat dipisahkan dari sistem Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan memegang peranan penting dalam melaksanakan penologi. Sistem pemasyarakatan sebagai sub sistem dari peradilan pidana, kurang mendapat perhatian dibanding dari sub sistem lainnya dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana. Tujuan pemidanaan terdapat dalam Pasal 54 ayat (1) Rancangan KUHP tahun 2007, yaitu:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Sistem pemasyarakatan sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana, hanya lebih menonjol dalam mewujudkan tujuan kedua dan keempat tersebut di atas. Dalam KUHAP hanya menentukan prosedur yang menjadi wewenang penyidik, penyelidik, penuntut umum, bantuan hukum dan berhenti pada proses di pengadilan. Sedangkan proses pelaksanaan pemidanaan dan proses melepaskan kembali terpidana ke dalam masyarakat sering kali tidak dibicarakan. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana, maka perlu diadakan evaluasi mengenai konsepsi pemasyarakatan dan bagaimana menurut Undang-Undang Pemasyarakatan serta realisasi pelaksanaan dilapangan. Dalam Rancangan KUHP, ditentukan tujuan pemidanaan antara lain perlunya kita memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna Pasal 54 ayat (2) Rancangan KUHP dan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan 10 hal, dalam Pasal 55 Rancangan KUHP tahun 2007 disebutkan:
1. Kesalahan pembuat tindak pidana;
2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3. Sikap batin pembuat tindak pidana;
4. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
5. Cara melakukan tindak pidana;
6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;
7. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;
8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau;
11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Diantara kesepuluh hal di atas yang wajib dipertimbangkan oleh Hakim dalam hubungannya dengan memasyarakatkan narapidana adalah: riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana, dan pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup dengan wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Dalam proses resosialisasi narapidana ini dikenal adanya masa pembebasan bersyarat, dimana masa pembebasan bersyarat ini mempunyai peranan aktif dalam pelaksanaan pembinaan narapidana pada umumnya. Dalam KUHP pembebasan bersyarat ini diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17, dalam Pasal 15 KUHP disebutkan sebagai berikut:
1. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pembebasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
2. Ketika memberikan pembebasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
3. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.

Dalam Rancangan KUHP pembebasan bersyarat tidak diatur secara khusus. Jadi bagi narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu diberi kemungkinan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat sebelum habis masa pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya.

Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat jika sudah menjalani dua pertiga masa pidanannya dengan tujuan salah satunya agar tidak terjadi over kapasitas, hampir di setiap Lembaga Pemasyarakatan, jumlah narapidananya sudah melebihi kapasitas yang ada, sedangkan untuk membangun penjara baru dibutuhkan biaya yang sangat besar, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, pada tahun 2006 kelebihan kapasitas mencapai 7.28 persen, dan bertambah menjadi 54,7 persen pada triwulan I/2007. Pada Januari 2007, tercatat jumlah penghuni Lapas/Rutan di seluruh Indonesia 118.453 orang, dengan kapasitas 76.550 orang. Dengan demikian, selisih kepadatan penghuni 41.903 orang narapidana (Tempo 31 Juli 2007: A5).

Oleh karena itu direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengusahakan agar pembebasan bersyarat digalakan jika dulu narapidana harus aktif meminta pembebasan bersyarat kini Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang harus mendata narapidananya yang sudah menjalani 2/3 masa hukumannya.

Perlu diperhatikan tiga subyek penting dalam proses pengembalian klien pemasyarakatan kembali ke masyarakat, yaitu: klien pemasyarakatan itu sendiri, petugas pemasyarakatan, dan masyarakat. Dengan mengikutsertakan ketiga subyek tersebut ke dalam suatu proses interaksi maka kita dapat memberikan batasan yang dapat mendekati dan sesuai dengan strategi pemasyarakatan.

Resosialisasi adalah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam mana proses interaksi mana termasuk mengubah sistem nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Atmasasmita, 41:1982).

Dalam konteks dengan strategi pemasyarakatan, konsep resosialisasi melahirkan masalah yang lebih rumit. Walaupun masyarakat jelas memiliki peranan yang sangat penting dalam proses resosialisasi narapidana, namun dari pihak masyarakat sendiri cenderung untuk menolak kehadiran bekas narapidana di tengah-tengah mereka, atau dengan kata lain, masyarakat kurang menaruh minat terhadap proses kembalinya seorang bekas narapidana di lingkungannya. Salah satu contoh konkrit perihal ini tergambar dari penelitian penulis di Balai Pemasyarakatan Semarang. 


Bahwa seorang klien harus terpaksa menjalani proses pembebasan bersyaratnya di luar daerah di mana ia melakukan tindak pidana tersebut untuk menghindari akibat-akibat yang tidak dikehendaki mengingat sikap masyarakat setempat yang sangat sulit untuk menerima seorang bekas narapidana, apalagi narapidana tersebut terlibat kasus pembunuhan. Bahwa walaupun seseorang narapidana telah memperoleh suatu keputusan bebas bersyarat dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) atas dasar “kelakuan baik” yang telah ditunjuk selama dalam Lembaga Pemasyarakatan, tidak merupakan jaminan bahwa ia akan dapat menemukan “masyarakat yang baik” pula jika nanti telah benar-benar bebas.

Pembebasan bersyarat merupakan usaha yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada klien pemasyarakatan untuk belajar hidup di masyarakat yang bebas dan merdeka dengan memenuhi syarat-syarat yang mengikat. Selama klien pemasyarakatan menjalani masa percobaan, mereka itu dikelola, dibina dan dibimbing untuk diarahkan ke jalan yang lurus agar mereka benar-benar sadar akan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.


B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
 
1. Identifikasi Masalah
Dalam menyikapi hal ini yang sudah penulis tulis di latar belakang di atas, maka penulis dalam penelitian ini bermaksud mengidentifikasi masalah dalam penelitian skripsi ini dan mengetahui lebih dalam efektivitas pembebasan bersyarat dalam pembimbingan narapidana yang dilakukan oleh balai pemasyarakatan. Oleh karena itu dalam penelitian skripsi ini penulis memberi identifikasi masalah sebagi berikut:
a. Bagaimana bimbingan bagi klien pemasyarakatan yang memperoleh pembebasan bersyarat di Balai Pemasyarakatan Klas 1 Semarang?
b. Bagaimanakah efektivitas pembebasan bersyarat dalam pembimbingan klien pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Klas 1 Semarang?
c. Hambatan-hambatan apa saja yang ditemui dalam pembimbingan klien Pemsyarakatan yang mendapat pembebasan bersyarat?







Dengan Rp 15.000,- 
anda bs melihat full konten skripsi ini sebagai bahan referensi
file dalam bentuk PDF dikirim via eMail
Pemesanan atau pertanyaan 0856 87 55 840 (SMS ONLY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar