Waktu kemarin saya bikin ebook tentang
metode analisis fundamental, saya lupa bilang kalau ada beberapa emiten
yang memiliki struktur laporan keuangan yang agak berbeda dari yang
biasanya. Di ebook tersebut, contoh lap keu yang saya tampilkan adalah
Unilever Indonesia (UNVR), dan memang seperti itulah lap keu
emiten-emiten di BEI pada umumnya. Namun, khusus untuk emiten di bidang
financial service (perbankan, jasa pembiayaan, asuransi, dll), struktur
lap keu-nya tidak seperti itu (meski pada intinya sih sama saja),
sehingga cara membaca/menganalisis fundamentalnya pun sedikit berbeda.
Artikel ini akan membahas hal tersebut.
Karena
emiten-emiten di sektor jasa pembiayaan (ADMF, WOMF, dll) dan asuransi
(AMAG, ABDA, dll) tidak begitu populer di mata investor, maka yang akan
kita bahas disini adalah fundamental perbankan (BMRI, BBRI, dll). Selain
beberapa rasio fundamental yang sudah kita kenal (EAR, EDR, EER, ROA,
dll), emiten perbankan memiliki beberapa rasio fundamental lainnya yang
penting untuk dilihat jika kita hendak menilai kinerjanya. Pada
dasarnya, ada tiga rasio yang harus diperhatikan yaitu Capital Adequacy
Ratio (CAR), Net Interest Margin (NIM), dan Non Performing Loan (NPL).
Oke, kita langsung saja bahas satu per satu.
1. Capital Adequacy Ratio
Capital
Adequacy Ratio (CAR) atau biasa juga disebut Rasio Kecukupan Modal,
adalah perbandingan antara modal bersih yang dimiliki bank dengan total
asetnya. Contohnya, anda punya modal 20 milyar. Anda lalu mendirikan
bank. Bank anda kemudian berhasil menjaring banyak nasabah dan
mengumpulkan dana pihak ketiga/DPK (tabungan, deposito, dan giro) dari
masyarakat sebesar total 50 milyar. Anda juga memiliki aset-aset lain
diluar modal dan DPK, senilai total 30 milyar. Dengan demikian, total
aset bank anda adalah 20 + 50 + 30 = 100 milyar. Lalu berapa CAR bank
anda? Ya modal bersih dibagi total aset, alias 20 / 100 = 0.20 = 20%.
Ilustrasi
diatas adalah cara untuk menghitung CAR secara kasar. Kenapa disebut
kasar? Karena untuk menghitung CAR secara lebih tepatnya, anda harus
memasukkan faktor-faktor resiko yang mungkin bisa mengurangi total ekuitas dan/atau aset bank anda, ke dalam rumus untuk menghitung CAR.
Contohnya
begini. Dari DPK sebesar 50 milyar tadi, anda lalu menyalurkannya
kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit alias pinjaman, katakanlah
sebesar 40 milyar. Nah, namanya orang pinjem duit ke bank, selalu saja
ada kemungkinan dia gagal melunasinya bukan? Inilah yang dimaksud dengan
faktor resiko, dalam hal ini resiko kredit. Katakanlah resiko
gagal bayar itu mencapai 5%, yang itu berarti dari 40 milyar dana yang
anda pinjamkan ke masyarakat, terdapat 2 milyar yang bisa saja hilang
(karena tidak dikembalikan oleh peminjamnya). Jika 2 milyar ini
benar-benar hilang, artinya apa? Artinya total aset dan total ekuitas
anda akan berkurang masing-masing 2 milyar. Untuk aset, dari tadinya 100
milyar menjadi 98 milyar. Dan untuk modal, dari tadinya 20 milyar
menjadi 18 milyar. Maka, rumus menghitung CAR-nya menjadi 18 / 98 =
0.184 = 18.4%.
Jadi kita bisa mengatakan bahwa CAR bank anda dengan memperhitungkan resiko kredit adalah 18.4%.
Pada
prakteknya, rumus untuk menghitung CAR terbilang rumit dan panjang, dan
sama sekali tidak sesederhana seperti yang diilustrasikan diatas.
Selain resiko kredit, terdapat pula dua resiko lainnya yang juga harus
ikut diperhitungkan, yaitu resiko pasar dan resiko operasional.
Untungnya, kita gak perlu capek-capek menghitungnya karena bank sudah
menampilkan CAR mereka pada laporan keuangannya. Contohnya, pada kuartal
III 2010 (9M10), Bank Mandiri (BMRI) mencatat CAR 14.13%. Dengan
demikian kita bisa mengatakan, total modal BMRI dengan memperhitungkan
faktor resiko ini dan itu, adalah 14.13% dari total asetnya.
Bank
Indonesia (BI) sebagai otoritas perbankan di Indonesia, menetapkan
batas minimum CAR di 8%. Jadi kalau ada bank yang CAR-nya yang kurang
dari 8%, maka bank tersebut akan dilikuidasi. Peraturan ini tentu
diperlukan, sebab bank adalah lembaga yang bertanggung jawab langsung
kepada masyarakat banyak (bank kan tempat kita ‘nitip’ duit). Jika ada
sebuah bank yang modalnya kurang dari 8% dari total asetnya, maka
tentunya bank tersebut beresiko tinggi untuk gagal mengembalikan dana
tabungan masyarakat. Masih ingat cerita soal Bank Century? Ketika di
bail-out, CAR Bank Century adalah minus 153.7% (Versi kepala
LPS, Firdaus Djaelani). Ini aneh bin ajaib, sebab ketika sebuah bank
CAR-nya sudah dibawah 8%, seharusnya BI sudah mengambil tindakan. Eh,
ini dibiarin gitu aja sampe bisa minus sebesar itu.
Balik
lagi ke soal CAR. Karena setiap tahun jumlah DPK yang dikumpulkan oleh
para bank semakin meningkat, seiring dengan semakin banyaknya jumlah
nasabah yang menabung, maka aset bank juga akan terus meningkat.
Alhasil, modal bank juga harus ditingkatkan untuk mengimbanginya. Kalau
nggak, ntar CAR-nya bisa menjadi kurang dari 8%. Makanya BMRI, Bank BNI
(BBNI), dan juga beberapa bank lainnya, dikabarkan akan menggelar right
issue untuk menambah modal mereka, agar CAR mereka tetap diatas 8%.
Cara
membaca CAR ini mudah: Semakin besar angkanya, maka semakin bagus
bank-nya, karena itu berarti modalnya semakin kuat. Hati-hati pada bank
yang CAR-nya mendekati batas minimum 8%. Kalau dibandingkan dengan rasio
fundamental pada emiten yang umumnya, CAR ini kira-kira sama (tapi
tidak sama persis) dengan EAR (Equity to Assets Ratio), alias rasio
modal terhadap aset.
2. Net Interest Margin
Net
Interest Margin (NIM) adalah perbandingan antara pendapatan bunga
bersih (pendapatan bunga bank yang sudah dikurangi beban pokok), dengan
nilai aset produktif. Yang dimaksud dengan aset produktif adalah aset
yang menghasilkan bunga tadi (istilahnya net bearing assets). Misalnya,
sebuah bank asetnya 100 milyar. Dari total aset tersebut, 80 milyar
diantaranya disalurkan kesana kemari dalam bentuk kredit, surat
berharga, obligasi, dll, sehingga menghasilkan pendapatan bagi bank
berupa bunga. Nah, 80 milyar inilah yang disebut dengan aset produktif.
Jika bank tersebut mencatat pendapatan bunga 5 milyar dalam setahun, kemudian setelah dikurangi beban pokok hasilnya adalah 4 milyar, maka NIM-nya adalah 4 / 80 = 0.05 = 5%.
Seperti
CAR, anda tidak perlu repot-repot menghitung NIM ini, karena bank sudah
mencatumkannya di lap keu-nya. Semakin besar nilai NIM, maka semakin
bagus bank tersebut, karena itu berarti pendapatannya terbilang besar
dibanding asetnya.
Kalau dibandingkan
dengan rasio fundamental pada emiten yang umumnya, NIM ini kira-kira
sama (tapi tidak sama persis) dengan ROA (Return on Assets), alias rasio
laba bersih terhadap aset.
3. Non Performing Loan
Non
Performing Loan (NPL) adalah perbandingan antara kredit yang tidak
dikembalikan lagi oleh si peminjamnya (kredit macet), atau dikembalikan
tapi tersendat-sendat, dengan total kredit yang disalurkan oleh bank ke
masyarakat. Contohnya seperti yang sudah dibahas diatas, sebuah bank
menyalurkan kredit sebesar total 40 milyar. Dari jumlah tersebut, 1
milyar diantaranya ternyata macet. Berarti NPL bank tersebut adalah 1 /
40 = 0.025 = 2.5%.
Di bank, kalau
berdasarkan tingkat kolektibilitasnya (kelancaran penagihannya), kredit
yang disalurkan ke masyarakat digolongkan menjadi lima status, yaitu 1.
lancar, 2. dalam perhatian khusus, 3. kurang lancar, 4. diragukan, dan
5. macet. Untuk status lancar, berarti kredit tersebut tidak bermasalah sama sekali, dan bisa ditagih dengan lancar. Untuk status dalam perhatian khusus, maka kredit tersebut mulai bermasalah. Dan untuk golongan yang terparah yaitu status macet,
maka kredit tersebut sudah tidak bisa ditagih sama sekali, atau tidak
dapat dipastikan kapan akan dikembalikan oleh peminjamnya.
Di
lap keu bank, NPL ini ada dua macam, yaitu NPL gross dan NPL net. NPL
gross adalah NPL yang membandingkan jumlah kredit berstatus kurang lancar, diragukan, dan macet yang disatukan, dengan total kredit yang disalurkan. Sedangkan NPL net hanya membandingkan kredit berstatus macet
dengan total kredit yang disalurkan. Di laporan keuangan, dua-duanya
ditampilkan. Bagi penulis, NPL gross lebih penting untuk diperhatikan
daripada NPL net, karena NPL net hanya memperhitungkan kredit yang sudah
berstatus macet. Sementara NPL gross ikut memperhitungkan kredit
berstatus kurang lancar dan diragukan, yang dimasa depan bisa saja
meningkat statusnya menjadi macet.
Semakin
besar NPL gross ini, maka semakin jelek bank-nya, karena itu
menunjukkan bahwa mereka tidak bisa menyeleksi calon peminjam dengan
baik. Kredit macet di bank dicatat sebagai kerugian (karena duitnya kan
hilang begitu saja).
Penutup
Okay,
saya kira segitu aja. Sebenarnya masih banyak rasio-rasio perbankan
lainnya yang juga penting. Tapi untuk menilai fundamental sebuah bank,
tiga rasio diatas relatif sudah cukup untuk dijadikan pertimbangan. Jadi
jika sekarang anda membaca berita kalau sebuah bank meraih penghargaan
‘The Best Bank in bla bla bla..’ atau ‘Platinum Bank Award bla bla
bla..’, anda nggak usah keburu silau. Tinggal perhatikan saja tiga rasio
diatas, dan juga kinerjanya, kemudian anda bisa menilai sendiri apakah
bank tersebut bagus atau tidak.
Pada ebook
analisis LQ45 untuk periode kuartal III 2010 yang akan penulis rilis
nanti, penulis akan memasukkan angka-angka CAR, NPL, dan NIM sebagai
bahan analisis pada analisis emiten-emiten bank yang disajikan. Tiga
rasio ini akan ikut menentukan rating kinerja bank-bank tersebut. Saat
ini terdapat enam bank yang masuk daftar LQ45, yaitu BCA, BNI, BRI, BTN,
Bank Danamon, dan Bank Mandiri.