Selasa, 12 Februari 2013

Keterkaitan BI Rate, Inflasi, dan IHSG

BI rate atau suku bunga Bank Indonesia, merupakan tingkat suku bunga untuk satu tahun yang ditetapkan oleh BI sebagai patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau lembaga-lembaga keuangan di seluruh Indonesia. Simpelnya jika BI rate naik dari 6.50% menjadi 6.75%, maka bunga pinjaman maupun simpanan di bank dan lembagai keuangan lainnya juga bisa naik. Patokan ini hanya bersifat rujukan dan bukan merupakan peraturan, sehingga tidak mengikat ataupun memaksa. Jadi para bank boleh saja menaikkan bunga pinjaman kepada orang yang mengajukan kredit dengan alasan BI rate naik, namun disisi lain bunga deposito atau tabungan bagi para nasabahnya malah gak naik sama sekali.

Sementara bagi BI sendiri, BI rate adalah suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang disalurkan ke bank-bank. Ketika BI rate naik ke 6.75%, maka para bank bisa menaruh dana mereka di BI dalam bentuk SBI, dan akan menerima bunga 6.75% per tahun. Misalnya, kalau Bank Mandiri menaruh duit tabungan nasabahnya sebesar 10 trilyun di BI, maka mereka akan menerima 675 milyar dalam setahun, tanpa perlu ‘ngapa-ngapain’ sama sekali.

Nah, dari sini kita akan dapat logikanya: Kalau BI rate dinaikkan, maka para bank tentunya akan lebih suka menaruh dana tabungan nasabah mereka di BI daripada menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. Sebab meskipun bunga yang ditetapkan BI lebih kecil dari bunga kredit (6.75% berbanding 12.5%), namun penjaminnya adalah pemerintah, sehingga resiko kredit macetnya sangat kecil, bahkan mendekati nol. Jika dana milik masyarakat yang dipegang para bank ‘diendapkan’ di BI, maka jumlah uang cash yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi. Itulah sebabnya BI rate merupakan instrumen yang biasanya cukup ampuh untuk menurunkan tingkat inflasi. Jadi adalah wajar ketika kemarin tingkat inflasi ternyata melebihi ekspektasi, banyak pihak kemudian menuntut agar BI segera menaikkan BI rate-nya.

Selain BI rate, BI juga memiliki beberapa instrumen lainnya yang juga bertujuan untuk menekan pertumbuhan inflasi. Misalnya sukuk, obligasi ritel Indonesia, surat utang negara, dll. Pada dasarnya semuanya menggunakan prinsip yang sama, yaitu menyerap dana sebesar-besarnya dari masyarakat sehingga jumlah uang cash yang beredar di masyarakat jadi berkurang. Penyebab tingginya inflasi kan karena jumlah uang yang beredar di masyarakat kelewat banyak.

Ketika jumlah uang cash yang beredar di masyarakat berkurang, pertumbuhan inflasi memang akan tertekan. Namun disisi lain juga beresiko menekan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, jika para bank ogah ngasih pinjaman modal ke pengusaha karena mereka lebih suka nyimpen duitnya di BI, maka para pengusaha tentunya akan kesulitan mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya akan menekan pertumbuhan eknomi secara keseluruhan. Karena itulah, jika kemudian tingkat inflasi telah terkendali, maka BI bisa menurunkan kembali BI rate-nya, agar dana yang tadinya diendapkan bisa kembali dikucurkan ke masyarakat, untuk menumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Ketika kemarin BI menaikkan BI rate, pertimbangannya adalah pertumbuhan ekonomi masih stabil, sementara tingkat inflasi mulai tidak terkendali. Berdasarkan data dari BPS, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 mencapai 6.10% dibanding 2009, lebih baik dari target pemerintah sebesar 5.80%. Sementara tingkat inflasi pada periode yang sama mencapai 6.96%, jauh lebih tinggi dari asumsi APBN sebesar 5.30%.

Lalu apa hubungan antara BI rate dengan pasar modal?

Ketika inflasi mulai naik tidak terkendali, maka efeknya adalah biaya operasional para perusahaan yang terdaftar di BEI menjadi membengkak, karena naiknya harga bahan baku, gaji karyawan, dll. Akibatnya, laba bersih para emiten dikhawatirkan akan turun. Alhasil, harga sahamnya pun turun. Dan jika hal ini terjadi pada banyak saham, maka IHSG secara keseluruhan juga akan turun. Jadi ketika BI rate dinaikkan dan harapannya inflasi akan terkendali, maka IHSG juga bisa bangkit kembali.

Namun, naiknya BI rate tidak akan serta merta menguatkan IHSG, karena yang jadi concern investor bukanlah BI rate-nya, melainkan tingkat inflasi. Dalam jangka pendek, naiknya BI rate bahkan justru berpotensi semakin melemahkan IHSG. Kenapa? Karena dengan naiknya BI rate, maka suku bunga di deposito, sukuk, dll biasanya (meski gak selalu) juga akan naik. So, para investor di pasar modal kini punya alternatif investasi yang tidak kalah menguntungkan dibanding investasi saham. Sukuk ritel seri SR003 misalnya, bunganya 8.15% per tahun. Dengan tingkat resiko yang mendekati nol, maka bunga sebesar itu tentu saja cukup menggiurkan. Kalau para investor ramai-ramai mengalihkan dananya dari saham ke sukuk ini, maka tentu saja IHSG akan semakin tertekan.

Ketika artikel ini ditulis, IHSG masih bergerak malas-malasan di kisaran 3,400-an. Beberapa saham unggulan pun masih tertekan cukup dalam, sebagian bahkan lebih dalam dari yang diperkirakan. Mudah-mudahan kebijakan BI dalam menaikkan BI rate memang berhasil menekan laju inflasi, sehingga IHSG bisa kembali tancap gas. Soalnya, data terakhir dari BPS menyebutkan bahwa tingkat inflasi tahunan pada akhir Januari 2011 kemarin sudah menembus 7.02%. Seems like trouble.

Tentang Sukuk

Bagi para pembelinya, sukuk pada dasarnya didesain untuk melindungi dana mereka dari inflasi, dan bukan merupakan instrumen untuk meraih gain atau keuntungan. Makanya bagi sebagian kalangan, bunga yang ditawarkan sukuk ini sama sekali tidak tinggi, hanya 8.15% per tahun. Sementara bagi pemerintah sebagai penerbitnya, harapannya inflasi akan tertekan karena jumlah dana tunai yang beredar di masyarakat berkurang karena diendapkan di sukuk ini. Jadi pembeli sukuk akan memperoleh manfaat dua kali, yaitu dananya terlindung dari inflasi, dan tingkat inflasi itu sendiri akan menjadi lebih rendah dari sebelumnya.

Akhir Januari 2011 lalu, inflasi tercatat 7.02%. Dengan asumsi tingkat inflasi pada periode yang sama tahun depan (Januari 2012) akan berkurang menjadi hanya sekitar 5.0% berkat penerbitan sukuk ini dan lain-lain, maka yield yang dihasilkan sukuk ini setelah 1 tahun adalah 8.15% - 5.0% = 3.15%. Sangat kecil memang, apalagi itu masih belum dipotong pajak. Namun setidaknya anda bisa tidur dengan tenang, karena keamanan dana anda tidak hanya dijamin oleh pemerintah (resiko investasinya mendekati nol), tapi juga terlindung dari inflasi.

Tapi kalau anda adalah pemburu gain, maka seperti yang sudah disebut diatas, sukuk tidak didesain untuk tujuan tersebut, sehingga mendingan anda tetep main saham saja.  


Source