Jumat, 04 Maret 2011

KODE SUMBER (SOURCE CODE) WEBSITE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA (STUDI KASUS WEBSITE ANSHAR.NET) [SH02]

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights).1 Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.

Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang diatur juga dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan : protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as a result of "the use of force which is no more than absolutely necessary" in defending one's self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections.Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19 April 1999, Bom Malam Natal pada 24 Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.

Kembali pada kasus Bom Bali I. Aksi teror melalui peledakan bom mobil di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan dilaksanakan pada 11 September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, peristiwa 11 September 2002 ini mengawali “Perang Global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti pemunculan jargon “Jihad adalah Terorisme” dalam memerangi terorisme telah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.6
Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme. 

Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)8 adalah:
a.keterangan saksi
b.keterangan ahli
c.surat
d.petunjuk
e.keterangan terdakwa

Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara.9 Secara garis besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.

Perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Perlu diperhatikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.11
Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.
Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware).

Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, bukti digital tidak dikenal dalam Hukum Acara Pidana Umum (KUHAP). Namun, untuk beberapa perbuatan hukum tertentu, bukti digital dikenal dan pengaturannya tersebar pada beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Tentang Dokumen Perusahaan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Tentang Kearsipan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi fokus penulisan ini.
Sebagai lex specialis, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 memiliki kekhususan secara formil dibandingkan KUHAP. Salah satu kekhususan tersebut yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah terkait penggunaan alat bukti yang merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut.
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.12
Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai Barang Bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti.13 Akan tetapi dengan adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP.Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.

Penelitian ini bertolak dari permasalahan penggunaan bukti digital (digital evidence) sebagai alat bukti tindak pidana terorisme di Indonesia. Objek dari penelitian ini adalah Source Code atau Kode Sumber sebuah website yang merupakan media informasi teroris, yaitu website Al-Anshar dengan alamat di http://www.anshar.net. Dipilihnya kode sumber sebagai objek penelitian dikarenakan kode sumber adalah tampilan yang paling orisinal dari sebuah website. Segala tampilan yang ramah pengguna atau user friendly interface dari sebuah website dibangun dari baris kalimat pada kode sumber website tersebut. Sehingga apabila tampilan dari suatu website mengandung substansi yang merupakan upaya terorisme, maka harus dilihat dari kode sumber website tersebut. Selain itu, dari website tersebut kode sumber lah yang paling mungkin dijadikan alat bukti.
Situs www.anshar.net yang diduga dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota itu, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya.14
Isi dari informasi para teroris itu seputar materi-materi Tauziah Syaikh Mukhlas, Tauhid, Jihad, Wacana, Islamiah dan Askariah. Antara lain mengajarkan penyerangan dengan cara memanfaatkan antrean di jalan atau pintu masuk masuk atau keluar kantor, pusat perbelanjaan, hiburan, olahraga, hotel dan tempat pameran. Sejumlah lokasi, seperti Ancol, Planet Hollywood dan Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) serta Senayan Golf Driving Range.15
Kasus tersebut saat ini tengah dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor Perkara 84/PID/B/2007 PN SMG. Hingga saat penelitian ini disusun, kasus tersebut telah mencapai tahap pembelaan (pledoi).

Untuk selanjutnya, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan bagaimana kode sumber dari sebuah website dapat dijadikan alat bukti. Penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan penggunaan alat bukti digital dalam persidangan, khususnya Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu dari penelitian ini akan terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mempergunakan alat bukti yang ada.

B.Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok masalah, yaitu:

1.Bagaimana pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia?

2.Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?

3.Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana Terhadap Informasi Elektronik (Source Code Website) di dalam Peristiwa Tindak Pidana Terorisme pada Kasus Website Anshar.net?

Dengan Rp 15.000,- 
anda bs melihat full konten skripsi ini sebagai bahan referensi
file dalam bentuk PDF dikirim via eMail
Pemesanan atau pertanyaan 0856 87 55 840 (SMS ONLY)

Kamis, 03 Maret 2011

EFEKTIVITAS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN [SH01]

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan Negara Hukum, di mana tindakan pemerintah dan lembaga-lembaga di dalamnya termasuk warga masyarakat harus berdasarkan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, agar tercapai keadilan, maka masalah pemidanaan di Indonesia merupakan suatu masalah yang patut disoroti karena menyangkut hak asasi, harkat dan martabat manusia.

“Kejahatan sangat berkaitan dengan pemidanaan sebab mereka yang telah melakukan kejahatan seharusnya diajukan kepada pengadilan dan dijatuhi pidana yang setimpal. Mereka (terpidana) kemudian hidup di belakang tembok penjara yang sama sekali asing baginya”(Rahayu, 1983:10). Mereka bercampur dan bergaul dengan penjahat dan berbagai bentuk manusia yang bertabiat/kebiasaan yang berbeda, begitu pula bahasa dan asal usul yang beraneka ragam.

Pidana bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan bagi yang dikenainya. Pertanyaan yang cukup relevan adalah apakah dasar, tujuan serta hakekat dari pidana dan pemidanaan sudah sesuai dengan kondisi sekarang. Jenis pidana di Indonesia sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 KUHP terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda, sedangkan untuk pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan adalah pidana hilang kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana penjara dilaksanakan di belakang tembok tebal yang sama sekali asing untuk mereka yang menjalaninya. Di belakang tembok tebal tersebut atau sering disebut penjara. narapidana akan dibina dan dididik agar mereka menjadi lebih baik dan berguna sebagai warga negara.
Pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1872–1945):
1. Periode Kerja Paksa di Indonesia (1872–1905);
2. Pelaksanaan Pidana di Indonesia menjelang berlakunya “Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie” (KUHP) 1918; (Periode “Penjara-penjara Sentral Wilayah”; 1905–1921);
3. Pelaksanaan Pidana di Indonesia setelah berlakunya “Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie” (KUHP) 1918; (Periode Kepenjaraan Hindia Belanda; 1921–1942);
4. Pelaksanaan Pidana di Indonesia dalam periode pendudukan bala-tentara Jepang (1942–1945).
Usaha-usaha perbaikan dan penambahan terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem kepenjaraan terus dilakukan, sehingga akhirnya sampailah pada usaha untuk menggantikan sistem kepenjaraan ke sistem perlakuan lain yang dapat dirasakan keberhasilannya jika Sistem yang diterapkan adalah sistem pemasyarakatan. Di dalam pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan, karena dalam sistem pemasyarakatan, narapidana dan anak didik hanya dibatasi kemerdekaan bergeraknya saja sedangkan hak-hak kemanusiaannya tetap dihargai. Zaman Pemasyarakatan dimulai dari 1963–1981 terdiri dari:
1. Periode Pemasyarakatan ke I (1963–1966) Lahirnya Sistem Pemasyarakatan);
2. Periode Pemasyarakatan ke II (1966–1975) (Periode Bina Tuna Warga);
3. Periode Pemasyarakatan ke III (1975-1981) (Kembali ke Pemasyarakatan).

Ilmu mengenai pidana atau yang disebut penologi dalam istilah hukum pidana memegang peranan penting dalam sistem peradilan pidana. Penologi atau yang mempunyai arti ilmu pengetahuan tentang hukuman tidak dapat dipisahkan dari sistem Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan memegang peranan penting dalam melaksanakan penologi. Sistem pemasyarakatan sebagai sub sistem dari peradilan pidana, kurang mendapat perhatian dibanding dari sub sistem lainnya dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana. Tujuan pemidanaan terdapat dalam Pasal 54 ayat (1) Rancangan KUHP tahun 2007, yaitu:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Sistem pemasyarakatan sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana, hanya lebih menonjol dalam mewujudkan tujuan kedua dan keempat tersebut di atas. Dalam KUHAP hanya menentukan prosedur yang menjadi wewenang penyidik, penyelidik, penuntut umum, bantuan hukum dan berhenti pada proses di pengadilan. Sedangkan proses pelaksanaan pemidanaan dan proses melepaskan kembali terpidana ke dalam masyarakat sering kali tidak dibicarakan. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana, maka perlu diadakan evaluasi mengenai konsepsi pemasyarakatan dan bagaimana menurut Undang-Undang Pemasyarakatan serta realisasi pelaksanaan dilapangan. Dalam Rancangan KUHP, ditentukan tujuan pemidanaan antara lain perlunya kita memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna Pasal 54 ayat (2) Rancangan KUHP dan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan 10 hal, dalam Pasal 55 Rancangan KUHP tahun 2007 disebutkan:
1. Kesalahan pembuat tindak pidana;
2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3. Sikap batin pembuat tindak pidana;
4. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
5. Cara melakukan tindak pidana;
6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;
7. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;
8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau;
11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Diantara kesepuluh hal di atas yang wajib dipertimbangkan oleh Hakim dalam hubungannya dengan memasyarakatkan narapidana adalah: riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana, dan pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup dengan wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Dalam proses resosialisasi narapidana ini dikenal adanya masa pembebasan bersyarat, dimana masa pembebasan bersyarat ini mempunyai peranan aktif dalam pelaksanaan pembinaan narapidana pada umumnya. Dalam KUHP pembebasan bersyarat ini diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17, dalam Pasal 15 KUHP disebutkan sebagai berikut:
1. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pembebasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
2. Ketika memberikan pembebasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
3. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.

Dalam Rancangan KUHP pembebasan bersyarat tidak diatur secara khusus. Jadi bagi narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu diberi kemungkinan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat sebelum habis masa pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya.

Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat jika sudah menjalani dua pertiga masa pidanannya dengan tujuan salah satunya agar tidak terjadi over kapasitas, hampir di setiap Lembaga Pemasyarakatan, jumlah narapidananya sudah melebihi kapasitas yang ada, sedangkan untuk membangun penjara baru dibutuhkan biaya yang sangat besar, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, pada tahun 2006 kelebihan kapasitas mencapai 7.28 persen, dan bertambah menjadi 54,7 persen pada triwulan I/2007. Pada Januari 2007, tercatat jumlah penghuni Lapas/Rutan di seluruh Indonesia 118.453 orang, dengan kapasitas 76.550 orang. Dengan demikian, selisih kepadatan penghuni 41.903 orang narapidana (Tempo 31 Juli 2007: A5).

Oleh karena itu direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengusahakan agar pembebasan bersyarat digalakan jika dulu narapidana harus aktif meminta pembebasan bersyarat kini Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang harus mendata narapidananya yang sudah menjalani 2/3 masa hukumannya.

Perlu diperhatikan tiga subyek penting dalam proses pengembalian klien pemasyarakatan kembali ke masyarakat, yaitu: klien pemasyarakatan itu sendiri, petugas pemasyarakatan, dan masyarakat. Dengan mengikutsertakan ketiga subyek tersebut ke dalam suatu proses interaksi maka kita dapat memberikan batasan yang dapat mendekati dan sesuai dengan strategi pemasyarakatan.

Resosialisasi adalah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam mana proses interaksi mana termasuk mengubah sistem nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Atmasasmita, 41:1982).

Dalam konteks dengan strategi pemasyarakatan, konsep resosialisasi melahirkan masalah yang lebih rumit. Walaupun masyarakat jelas memiliki peranan yang sangat penting dalam proses resosialisasi narapidana, namun dari pihak masyarakat sendiri cenderung untuk menolak kehadiran bekas narapidana di tengah-tengah mereka, atau dengan kata lain, masyarakat kurang menaruh minat terhadap proses kembalinya seorang bekas narapidana di lingkungannya. Salah satu contoh konkrit perihal ini tergambar dari penelitian penulis di Balai Pemasyarakatan Semarang. 


Bahwa seorang klien harus terpaksa menjalani proses pembebasan bersyaratnya di luar daerah di mana ia melakukan tindak pidana tersebut untuk menghindari akibat-akibat yang tidak dikehendaki mengingat sikap masyarakat setempat yang sangat sulit untuk menerima seorang bekas narapidana, apalagi narapidana tersebut terlibat kasus pembunuhan. Bahwa walaupun seseorang narapidana telah memperoleh suatu keputusan bebas bersyarat dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) atas dasar “kelakuan baik” yang telah ditunjuk selama dalam Lembaga Pemasyarakatan, tidak merupakan jaminan bahwa ia akan dapat menemukan “masyarakat yang baik” pula jika nanti telah benar-benar bebas.

Pembebasan bersyarat merupakan usaha yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada klien pemasyarakatan untuk belajar hidup di masyarakat yang bebas dan merdeka dengan memenuhi syarat-syarat yang mengikat. Selama klien pemasyarakatan menjalani masa percobaan, mereka itu dikelola, dibina dan dibimbing untuk diarahkan ke jalan yang lurus agar mereka benar-benar sadar akan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.


B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
 
1. Identifikasi Masalah
Dalam menyikapi hal ini yang sudah penulis tulis di latar belakang di atas, maka penulis dalam penelitian ini bermaksud mengidentifikasi masalah dalam penelitian skripsi ini dan mengetahui lebih dalam efektivitas pembebasan bersyarat dalam pembimbingan narapidana yang dilakukan oleh balai pemasyarakatan. Oleh karena itu dalam penelitian skripsi ini penulis memberi identifikasi masalah sebagi berikut:
a. Bagaimana bimbingan bagi klien pemasyarakatan yang memperoleh pembebasan bersyarat di Balai Pemasyarakatan Klas 1 Semarang?
b. Bagaimanakah efektivitas pembebasan bersyarat dalam pembimbingan klien pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Klas 1 Semarang?
c. Hambatan-hambatan apa saja yang ditemui dalam pembimbingan klien Pemsyarakatan yang mendapat pembebasan bersyarat?







Dengan Rp 15.000,- 
anda bs melihat full konten skripsi ini sebagai bahan referensi
file dalam bentuk PDF dikirim via eMail
Pemesanan atau pertanyaan 0856 87 55 840 (SMS ONLY)

Selasa, 01 Maret 2011

Propolis

Propolis atau Lem Lebah adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu. Dikumpulkan oleh lebah dari pucuk daun-daun yang muda untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, digunakan untuk menambal dan mensterilkan sarang. Propolis bersifat disinfektan (anti bakteri) yang membunuh semua kuman yang masuk ke sarang lebah. lebah meliputi sarangnya dengan propolis untuk melindungi semua yang ada di dalam sarang tersebut dari serbuan kuman, virus, atau bakteri, misal: ratu lebah, telur, bayi lebah dan madu. Sifat disinfektan alami yang terkandung dalam propolis sangat ampuh dalam membunuh kuman, terbukti dengan ditemukannya seekor tikus dalam sarang lebah yang telah mati selama kurang lebih 5 tahun dalam keadaan tidak membusuk.


Kegunaan

Kegunaan Propolis bagi manusia adalah :
lemak-lemak (katarak) di mata bersih dengan propolis.


Pendapat para Ahli

Berikut adalah pendapat para ahli tentang propolis dan kegunaan lain :
  1. John Diamond MD; propolis mampu mengaktifkan kelenjar thymus yang berfungsi sebagai sistem imunitas tubuh.
  2. Ray Kupinsel; propolis sebagai anti biotik alami yang mampu melawan berbagai macam penyakit tanpa efek samping
  3. Profesor Arnold Becket; propolis mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur.
  4. Russia Research Team (Tim Riset Rusia); Dalam propolis terdapat zat anti biotik alami dan anti viral, vitamin, asam amino, mineral yang sangat mujarab untuk penyakit mulut, tenggorokan.
  5. Dr. Fang Chu (dokter di Lien Yu Kang Hospital Tiongkok); propolis berguna untuk penyakit kandungan lemak tinggi dalam darah dan untuk penyakit jantung.
  6. Lembaga Riset Kanker Columbia, 1991; dalam propolis terdapat zat CAPE yang berfungsi mematikan sel kanker. Dengan pemakaian zat CAPE secara teratur selama 6 bulan dapat mereduksi kanker sebanyak 50%.
  7. Majalah anti biotik VP Kivalkina; propolis sangat efektif untuk infeksi tanpa batas kadaluwarsa.

 source : wikipedia.com

 

MANFAAT MELIA PROPOLIS

Penyakit :
• Batuk,asthma, bronchitis,paru-paru, sinusitis, flu,demam, sakit kepala
• Luka benda tajam, luka terbakar (infeksi)
• Infeksi kewanitaan
• Herpes, penyakit kulit serta penyakit jamur
• Jerawat, bisul
• Infeksi kulit, telinga, gigi
• Wasir, Ambeien
• Kanker, tumor, gangguan jantung, ginjal, hati dan diabetes
• Darah tinggi, darah rendah
• Hepatitis/liver
• Radiasi
• Stress, Parkinson
• Gangguan Pencernaan, Maag

*Kecepatan reaksi dan hasil dapat berbeda-beda untuk setiap orang.

Cara Mengonsumsi/Pemakaian Melia Propolis
1. Diminum : teteskan propolis dengan ¼ gelas air putih lalu dikocok (Sangat bagus dicampur dengan madu).
• Orang sehat : 3-5 tetes, 2-5 kali sehari
• Orang sakit : 5-7 tetes, 4-5 kali sehari

2. Penyembuhan luar:
Oleskan Melia Propolis secara merata pada bagian tubuh yang luka atau sakit

3. Melia Propolis dapat dikonsumsi dengan obat-obat lainnya tanpa ada efek samping.

Harga per botol (6ml) Rp 100.000
Ongkos Kirim:
Rp. 5000 (paket kilat ke jabodetabek)
Luar daerah tergantung kota dan jenis paket


Beli 7 botol Hanya Rp 550.000 Plus Ongkir
 


Untuk Pemesanan

Via eMail : gerfas.sjachroni@yahoo.com
SMS/Call : 021 96687464 or 0856 87 55 840

NB: Cara Pembayaran melalui transfer BCA nanti barang akan saya kirim via TIKI, atau JNE. Kalo saya tidak sibuk Barang bisa diantar ke tempat anda (yang dekat saja) atau bisa juga datang ke lokasi.